Gonjang-ganjing tentang keberlangsungan Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) akhirnya berakhir. Lembaga yang selalu menjadi sorotan berbagai pihak ini,
akhirnya dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 November 2012. Landasan paling
kuat yang disampaikan MK adalah keberadaan BP Migas yang dinyatakan
inkonstitusional, sehingga bertentangan dengan pasal 33 UUD 45. Keberadaan BP
Migas telah membatasi hak Negara untuk mengelola sendiri sumber migas.
Produksi
migas nasional yang masih menjadi sandaran pembiayaan APBN, juga terus menerus
merosot, jauh dari harapan. Anggaran cost recovery yang terus- menerus meroket juga menuai banyak kritikan. Banyak pihak yang melihat peningkatan biaya yang berbanding terbalik dengan
produksi ini, disebabkan
oleh tidak transparannya proses-proses tender yang terjadi di perusahaan-perusahaan
minyak asing. Maklum saja, auditor kita tidak bisa menjangkau
perusahaan-perusahaan asing ini, kecuali hanya sebatas audit administratif saja.
BP Migas (dengan UU MIGAS) memang telah menjadi suatu lembaga yang super body. Mengelola bisnis migas
dengan omset yang mencapai sekitar 700-800 trilyun rupiah pertahun. Besarnya
kue ini, tak ayal menjadi incaran semua pihak untuk menikmatinya, baik dengan
cara yang benar maupun cara tidak benar. Hal lain yang juga menjadi topik bahasan publik adalah dominasi perusahan-perusahaan asing
dalam industri migas nasional. BP Migas gagal menggeser dominasi mereka dalam bisnis migas nasional. Di
bawah pengelolaan BP Migas, perusahaan-perusahaan migas asing menjadi begitu dominan. Sebaliknya, perusahaan nasional (Pertamina, Medco, dll) hanya berpartisipasi tidak lebih dari 20% dari omset bisnis migas.
Konflik-konflik
horizontal yang terjadi di sekitar lapangan-lapangan migas, juga memunculkan ketidak pastian usaha industri migas
nasional. Lapangan penghasil migas yang tidak memberikan kesejahteraan signifikan kepada masyarakat daerah , menyebabkan munculnya konflik
horizontal. Di
setiap lapangan migas hampir selalu bisa kita temui konflik horizontal, berupa gangguan masyarakat setempat atas operator-operator lapangan yang mengelola migas
di daerah tersebut. Ini adalah bukti gagalnya BP Migas dalam menjalankan
tugasnya sebagai lembaga yang mengelola kegiatan hulu minyak dan gas bumi.
Pasca
pembubaran BP Migas, kedepannya kita berharap seluruh pihak bisa memulai lebaran baru dalam hal pengelolaan migas nasional ini. Penyusunan revisi UU Migas harus bisa menunjukkan kepada publik, bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat atas kekayaan alam migas kita. Berdaulat untuk memanfaatkan hasil migas ini sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Setelah pembubaran dibubarkannya BP
Migas, banyak pihak mempertanyakan bagaimana nasib pengelolaan migas nasional? Siapa yang seharusnya
memegang beban BP Migas untuk melakukan pengelolaan migas? Sebagian pihak yg dimotori oleh Kurtubi, berharap pengelolaan migas bisa dikembalikan kepada Pertamina. Sebagian lagi berharap pemerintah segera menbentuk suatu BUMN baru untuk menggantikan
fungsi BP Migas.
Sementara pihak lain berharap, agar pemerintah memanfaatkan BUMD-BUMD yang sekarang sudah ada, untuk mengola
industri migas nasional.
Saya sendiri berpendapat, usulan untuk mengembalikan peran BP Migas kepada pertaminan bukanlah usulan yang tepat dan kurang realistis. Pertamina saat ini sedang memikul banyak beban berat. Pertamina harus fokus untuk menaikkan produksi migas dari lapangan-lapangan migas yang dimiliki. Sampai saat ini produksi lapangan-lapangan migas Pertamina masih jauh dari target yang diharapkan. Tugas lain, seperti pendistribusian BBM dan gas secara merata keseluruh tanah air harus terus diperbaiki, sehingga tidak ditemui lagi daerah yang mengalami kelangkaan BBM dan gas.
Pilihan untuk membentuk BUMN baru sebagai pengganti BP
Migas, bisa saja menjadi pilihan. Namun, hendaknya pilihan tersebut disimpan dulu, saat ini kita punya banyak perusahaan migas, dalam berbentuk
Badang Usaha Milik Daerah (BUMD), yang belum dikembangkan. Sudah saatnya BUMD-BUMD migas ini dikembangkan untuk mengelola
industri migas nasional. Membangun
BUMD yang kuat merupakan implementasi dari amanat konstitusi. Konstitusi mengamantkan pada kita utuk menyebarkan kemakmuran keseluruh daearah di tanah air secara
merata. Sudah waktunya daearah lebih dilibatkan dalam pengelolaan dan pembangunan industri migas nasional.
Di era
keterbukaan sekarang ini, sudah bukan waktunya kita mengabaikan daearah. Daerah berhak untuk diperankan dalam mengatur kekayaan yang ada di bumi mereka. Daerah harus diberi kesempatan untuk membuktikan diri. Pemerintah pusat punya kewajiban memfasilitasi agar daerah mampu mengelola harta kekayaan yang ada di daerahnya. Sehingga, mereka nanti akan bangga menjadi daerah penghasil migas. Tidak seperti saat ini, dimana sebagian besar masyarakat daearah merasa keberadaan lapangan-lapangan migas di daerah mereka, hanya menjadi beban yang mengancam kehancuran lingkungan. Hal tesebut terjadi,
dikarenakan keberadaan lapangan migas yang ada di daerah, belum memberikan kontribusi yang layak bagi kesejahteraan masyarakat daerah tersebut.
Dengan penguatan
BUMD, akan membantu daerah-daerah penghasil migas, menjadi pusat
industri migas yang kuat. Sehingga, akan terjadi penyebaran pusat industri
migas ke daerah-daerah, yang akan membantu penyebaran kemakmuran secara alami. Tujuan yang
paling penting dari penguatan BUMD adalah, sebagai pembuktikan bahwa rakyat berdaulat atas tanah air dan segala kekayaan yang ada di dalamnya. Negara,
dalam hal ini diwakili dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bisa
mengelola industri migas sendiri tanpa harus tergantung pada perusahaan asing.
Sehingga, industri migas bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar